Beranda | Artikel
Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 9)
Jumat, 12 April 2024

Faedah 22. Siapa teroris tulen?

Bismillah.

Syekh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah pernah mendapat pertanyaan.

“Banyak orang ketika melihat seorang yang taat dan rajin mengaji, maka mereka pun menjulukinya dengan teroris. Bagaimana tanggapan anda? Semoga Allah berikan taufik kepada anda.”

Beliau menjawab,

“Hal ini termasuk perbuatan suuzan/buruk sangka kepada kaum muslimin. Pada diri seorang muslim, pada dasarnya terdapat kebaikan. Oleh sebab itu, seharusnya bersangka baik padanya. Kecuali, apabila muncul darinya hal-hal yang menyelisihi kebenaran, maka yang semacam ini memang perlu untuk dibenahi pada momen yang tepat dan cara yang sesuai.

Adapun apabila muncul darinya komitmen untuk berpegang-teguh dengan ajaran Nabi dan rajin melakukan amal-amal saleh lantas dikomentari sebagai teroris, maka sesungguhnya orang yang sering mengucapkan komentar semacam ini dia itulah teroris yang sebenarnya. Orang yang suka menuduh macam-macam kepada hamba-hamba Allah yang saleh dan mengolok-olok mereka disebabkan sikap komitmen mereka kepada sunah, sebenarnya orang itulah yang lebih pantas disebut sebagai teroris (penebar rasa takut dan kekacauan, pent).”

(Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 27.)

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, fenomena semacam ini tidak jarang kita jumpai di tengah masyarakat, kalau tidak mau dikatakan banyak terjadi. Tuduhan-tuduhan kepada para pengikut sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai kelompok radikal. Padahal, mereka tidak menyerukan kepada pemahaman sesat dan menyimpang. Apalagi mengajak kepada aksi-aksi terorisme dan kekacauan. Bahkan, mereka mengajak manusia untuk taat kepada pemerintah dalam hal-hal yang makruf. Para pengikut sunah pun memandang bahwa ketaatan kepada pemerintah muslim adalah bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Ini hanya salah satu contoh bagaimana kebenaran dan penyeru kebenaran dipojokkan dan dikambinghitamkan sebagai biang kerusuhan dan sumber masalah. Sementara di sisi lain, orang yang siang malam mengajak kepada kesesatan dan kerusakan dinobatkan sebagai sosok penasihat dan para penyebar maksiat justru digelari sebagai kaum yang toleran dan bijaksana. Sesungguhnya perkara ini bukanlah barang baru! Sejak dahulu kala, kaum musyrikin pun menggelari nabi pembawa petunjuk sebagai tukang sihir atau orang gila. Bahkan, mereka menganggap aneh dakwah tauhid serta menuduh para rasul sebagai perusak agama dan tatanan masyarakat.

Allah mengisahkan ucapan Firaun ketika menentang dakwah Nabi Musa ‘alaihis salam,

ذَرُونِیۤ أَقۡتُلۡ مُوسَىٰ وَلۡیَدۡعُ رَبَّهُۥۤۖ إِنِّیۤ أَخَافُ أَن یُبَدِّلَ دِینَكُمۡ أَوۡ أَن یُظۡهِرَ فِی ٱلۡأَرۡضِ ٱلۡفَسَادَ

“Biarkanlah aku, akan kubunuh Musa dan hendaklah dia menyeru kepada Rabbnya. Sesungguhnya aku khawatir dia akan mengganti agama kalian atau menampakkan di muka bumi ini kerusakan.” (QS. Ghafir: 26)

Orang-orang musyrik pun membalas seruan dakwah tauhid dengan cemoohan dan ejekan kepada para dai tauhid. Allah berfirman mengisahkan ucapan mereka,

أَىِٕنَّا لَتَارِكُوۤا۟ ءَالِهَتِنَا لِشَاعِرࣲ مَّجۡنُونِۭ

“Akankah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami hanya gara-gara mengikuti perkataan seorang panyair gila.” (QS. Ash-Shaffat: 36)

Mereka pun menilai bahwa dakwah untuk memurnikan ibadah kepada Allah serta meninggalkan syirik adalah seruan yang aneh dan nyeleneh. Allah berfirman menceritakan komentar mereka,

أَجَعَلَ ٱلۡـَٔالِهَةَ إِلَـٰهࣰا وَ ٰ⁠حِدًاۖ إِنَّ هَـٰذَا لَشَیۡءٌ عُجَابࣱ

“Apakah dia (Rasul) menjadikan sesembahan-sesembahan ini menjadi satu sesembahan saja?! Sesungguhnya ini benar-benar sesuatu yang aneh.” (QS. Shad: 5)

Maksudnya, mereka menganggap tauhid sebagai barang aneh, sedangkan syirik bukan barang aneh?! (Lihat Majmu’ah Rasa’il Manhajiyah wa Da’awiyah, hal. 13 oleh Syekh Shalih Al-Fauzan.)

Semoga sedikit catatan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca sekalian.

Faedah 23. Milik Allah timur dan barat

Bismillah.

Allah berfirman,

وَلِلَّهِ ٱلۡمَشۡرِقُ وَٱلۡمَغۡرِبُۚ فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَ ٰ⁠سِعٌ عَلِیمࣱ

“Dan milik Allah semata, arah timur dan barat. Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah. Sesungguhnya Allah Mahaluas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 115)

Ayat yang mulia ini menunjukkan tentang betapa luasnya cakupan kerajaan dan kekuasaan Allah. Di dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Allah meliputi segala sesuatu dengan ilmu dan karunia-Nya. Seandainya seorang menghadap atau berjalan ke mana pun, maka sesungguhnya Allah meliputi dan mengetahui keadaannya. (Lihat Ahkam minal Qur’an oleh Al-Utsaimin, 1:413.)

Selain itu, ayat ini juga mengandung penetapan salah satu sifat Allah, yaitu Allah memiliki wajah. Maka, wajib bagi kita meyakininya sebagaimana zahirnya/apa adanya. Di mana wajah Allah itu sesuai dengan kemuliaan dan keagungan-Nya sehingga tidak serupa dengan wajah-wajah makhluk. Maka, demikian pula, sifat-sifat Allah yang lain semacam dua tangan, dua mata. Maka, wajib bagi seorang mukmin untuk menetapkan hal itu secara hakiki/apa adanya. Akan tetapi, kita tidak boleh menentukan bentuk/kaifiyat sifat itu dan tidak boleh menyerupakan wajah Allah dengan wajah makhluk-Nya. (Lihat Ahkam minal Qur’an, 1:414.)

Ayat yang mulia ini telah ditafsirkan maksudnya dalam sebuah hadis yang dibawakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam kitabnya Bulughul Maram (hadis ke-166). Ibnu Hajar berkata, “Dari Amir bin Rabi’ah radhiyallahu’anhu, dia berkata, ‘Kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu malam, maka kami pun kesulitan mencari arah kiblat. Kami pun tetap melaksanakan salat. Ketika matahari sudah terbit (siang hari), jelaslah bahwa kami telah melakukan salat tidak menghadap kiblat, maka turunlah ayat,

فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ

‘Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’ ” (QS. Al-Baqarah: 115)

Ibnu Hajar berkata, “Hadis ini dikeluarkan oleh Tirmidzi dan dia melemahkannya.” Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini berderajat hasan. (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1:516.) Hadis ini juga dinyatakan hasan oleh Syekh Al-Albani rahimahullah. (Lihat Shahih Sunan Tirmidzi, no. 345.)

Hadis Amir bin Rabi’ah tersebut juga dibawakan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan salah satu maksud yang tercakup di dalam ayat ini. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1:392-393 tahqiq Sami bin Muhammad As-Salamah.)

Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah mengatakan, “Apabila arah kiblat samar bagi musafir, lalu dia melakukan salat dan ternyata tampak baginya arahnya keliru, maka salatnya tetap sah, sama saja apakah dia mengetahui salahnya pada waktu salat tersebut masih ada atau sudah berlalu/habis waktu salat itu.” (Lihat Taudhih Al-Ahkam, 1:516.)

Dari sini, kita mengetahui bahwa pada dasarnya salat wajib menghadap kiblat/arah Ka’bah. Akan tetapi, apabila orang sudah berusaha dan tidak bisa menentukan dengan pasti lalu dia salat ke suatu arah yang dianggap kiblat dan ternyata kemudian terbukti salah, maka salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Keabsahan itu diisyaratkan oleh kalimat,

فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ

“Maka, ke mana pun kalian menghadap, maka di sana ada wajah Allah.”

Yang menggambarkan bahwa ke arah mana pun seorang muslim menghadap, maka dia akan tetap mengabdi kepada Allah sesuai dengan apa yang diperintahkan kepadanya. Dan seandainya dia tersalah atau keliru secara tidak sengaja, maka hal itu dimaafkan.

Imam Muhammad bin ‘Ali Asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwasanya menghadap Ka’bah ketika salat merupakan kewajiban bagi orang yang bisa melihat Ka’bah, sedangkan bagi orang yang tidak bisa melihatnya secara langsung, maka dia cukup mengerjakan salat ke arahnya. (Lihat Ad-Darari Al-Mudhiyyah Syarh Ad-Durar Al-Bahiyyah, hal. 75.)

Oleh sebab itu, wajibnya menghadap kiblat ketika salat adalah perkara yang diketahui oleh setiap muslim. Dan yang dimaksud kiblat itu adalah Ka’bah atau ke arahnya. Ibnu Rusyd rahimahullah berkata, “Apa-apa yang dinukil secara mutawatir seperti (wajibnya) menghadap kiblat dan bahwa kiblat itu adalah ke arah Ka’bah, tidak ada yang menolak/membantah hal ini, kecuali orang kafir.” (Dinukil dengan perantaraan Taudhih Al-Ahkam, 1:517.)

Di dalam fikih Mazhab Syafi’i juga telah diterangkan bahwa menghadap kiblat termasuk syarat salat, dan boleh tidak menghadap kiblat apabila dalam keadaan tercekam ketakutan yang sangat dahsyat atau ketika salat sunah pada waktu bersafar dengan naik kendaraan. Begitu pula dibolehkan bagi musafir yang berjalan kaki untuk salat sunah dengan tidak menghadap kiblat. (Lihat Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, hal. 64-65, tahqiq Majid Al-Hamawi.)

Begitu pula dalam fikih Mazhab Hanbali, diterangkan bahwa menghadap kiblat adalah salah satu syarat sah salat. Dalilnya firman Allah,

وَمِنۡ حَیۡثُ خَرَجۡتَ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَیۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥ

“Dan ke mana pun kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Di mana pun kalian berada, maka hadapkanlah wajahmu (ketika salat) ke arahnya.” (QS. Al-Baqarah: 150)

Apabila orang tidak mampu memenuhi syarat ini karena sakit atau sebab lain, maka ia gugur karena Allah tidak membebaninya, kecuali sebatas kemampuannya. (Lihat Ibhajul Mu’minin bi Syarh Manhajis Salikin, 1:133-134.)

Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berkata, “Diturunkan ayat,

فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ

Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’

Maksudnya hendaklah kamu mengerjakan salat ke arah mana hewan tungganganmu menghadap, yaitu ketika mengerjakan salat sunah. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bil Ma’tsur, 1:565.)

Imam Ibnu Abi Syaibah, Bukhari, dan Baihaqi meriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salat di atas hewan tunggangannya menghadap ke arah timur. Apabila beliau hendak salat wajib, maka beliau pun turun dan menghadap kiblat lalu mengerjakan salat. (Lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1:565.)

Imam Abdu bin Humaid dan Tirmidzi meriwayatkan dari Qatadah mengenai tafsiran dari ayat ini,

فَأَیۡنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجۡهُ ٱللَّهِۚ

Maka ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.’

Qatadah berkata, ‘Ayat ini telah di-mansukh/dihapus hukumnya. Yaitu, dihapus dengan ayat,

فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ

Maka, palingkanlah wajahmu menghadap ke Masjidil Haram.’ (QS. Al-Baqarah: 144) Yaitu, hendaknya kamu salat menghadap ke arahnya.`” (lihat Ad-Durr Al-Mantsur, 1:568.)

Faedah:

Imam Ibnu Katsir rahimahullah membantah apabila ada orang yang menafsirkan bahwa kalimat “Maka, ke mana pun kalian berpaling/menghadap, maka di sana ada wajah Allah.” menunjukkan bahwa Allah ada di mana-mana. Sebagian orang berkata, “Dan Allah Ta’ala tidaklah ada satu tempat pun yang kosong dari-Nya.” Ibnu Katsir berkata, “Apabila yang dimaksud (ada dimana-mana) itu adalah ilmu Allah, maka itu benar. Karena ilmunya Allah meliputi segala hal. Adapun Zat Allah Ta’ala tidak dibatasi oleh sesuatu pun dari makhluk-Nya. Mahatinggi Allah dari hal itu dengan ketinggian yang Mahabesar.” (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim, 1:391-392.)

Ibnu Qudamah rahimahullah dalam Lum’atul I’tiqad menegaskan bahwa ilmu Allah meliputi segala tempat, tidak ada satu tempat pun yang kosong dari ilmu Allah. Dan sebagaimana telah jelas dari dalil-dalil bahwa Allah berada di atas langit menetap tinggi di atas Arsy. Meskipun demikian, tidak ada sesuatu perkara pun yang samar bagi Allah di langit maupun di bumi, pada masa lalu maupun masa depan. Allah telah mengetahui semuanya. Sehingga ada perbedaan antara Zat Allah dengan ilmu-Nya. Zat Allah berada tinggi di atas langit, sedangkan ilmu-Nya Mahaluas meliputi segala sesuatu. (lihat Syarh Lum’atil I’tiqad oleh Syekh Shalih Al-Fauzan, hal. 27.)

Inilah akidah salaf sebagaimana ditegaskan oleh Imam Malik rahimahullah. Beliau mengatakan, “Allah berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya ada di mana-mana. Tidak ada satu tempat pun yang luput dari ilmu Allah…” (Dinukil melalui Al-Jami’ fi ‘Aqa’id wa Rasa’il Ahlis Sunnah, hal. 180.)

Oleh sebab itu, ahlusunah meyakini bahwa Allah berada tinggi di atas Arsy-Nya (dan Allah tidak butuh kepada Arsy). Allah bersama hamba-hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Allah mengetahui keadaan makhluk, mendengar ucapan mereka, dan melihat segala perbuatan dan gerak-gerik mereka. (Lihat Syarh Aqidah Ahlis Sunnah oleh Al-Utsaimin, hal. 140 dst.)

Wallahu a’lam.

Kembali ke bagian 8: Untaian 23 Faedah Seputar Tauhid dan Akidah (Bag. 8)

***

Penulis: Ari Wahyudi, S.Si.


Artikel asli: https://muslim.or.id/91669-untaian-23-faedah-seputar-tauhid-dan-akidah-bag-9.html